Yuli (34 tahun), ibu dari
remaja laki-laki 14 tahun. Ia salah tingkah ketika pertama kali mengetahui
putranya memberikan kado spesial dengan ucapan romantis untuk teman sekolahnya
yang berjenis kelamin perempuan. Lho, kok malah ibunya yang salah tingkah?
Pengalaman ibu Yuli mungkin banyak dialami orangtua lain yang baru pertama kali menghadapi anak remajanya yang mulai berpacaran. Beberapa orangtua bersikap keras, dengan memarahi dan memukul anaknya, disertai larangan keluar rumah, karena khawatir anaknya kebablasan.
Pengalaman ibu Yuli mungkin banyak dialami orangtua lain yang baru pertama kali menghadapi anak remajanya yang mulai berpacaran. Beberapa orangtua bersikap keras, dengan memarahi dan memukul anaknya, disertai larangan keluar rumah, karena khawatir anaknya kebablasan.
Beberapa orangtua lain
bersikap cuek karena menganggap dunia remaja memang seperti itu. Lalu,
bagaimana sikap orangtua yang tepat? Untuk menjawabnya, hal pertama yang perlu
direnungkan adalah wajarkah seseorang jatuh cinta ketika masih remaja?
Hakekat Cinta Remaja
Semua orang membutuhkan
kehangatan dan kasih sayang dari orang lain, baik orangtua, saudara, sahabat,
pasangan (kecuali anak-anak, belum membutuhkan pasangan), bahkan dari Tuhan
(pada orang-orang yang religius, cinta Tuhan merupakan keutamaan tertinggi).
Erich Fromm (1900-1980)
seorang ahli psikologi dan filsafat sosial yang terkenal dengan bukunya The
Art of Loving menyatakan, cinta merupakan jawaban terhadap masalah eksistensi
manusia. Hidup dapat berlanjut dengan penuh makna hanya bila manusia hidup
dalam cinta. Tanpa cinta seseorang akan merasa kesepian, terpisah dari
masyarakat dan alam sekitar.
Ketika memasuki masa
remaja (12 atau 13 tahun), sering disebut masa pubertas, individu mengalami
kematangan fisik dan organ-organ seksual, dan dalam kondisi ini mereka mulai
mempertanyakan identitasnya; Who am I ?. Istilah inilah yang biasa
dipakai para remaja seketika mereka sadar bahwa mereka suda beranjak remaja dan
sudah mengenal dunia love.
Hormon pertumbuhan yang
sebelumnya sudah aktif, pada masa ini mengalami percepatan pertumbuhan karena
kematangan tersebut, dan hormon seks yang semula pasif telah menjadi aktif.
Perubahan fisik yang cepat
dan aktivitas hormon seksual, tentu saja kemudian menimbulkan
perubahan-perubahan psikis maupun sosial. Dengan perkembangan kognisi
(kemampuan berpikir) dan emosi-emosi yang menyertai perkembangan fisik-seksual,
secara psikologis remaja mulai merasakan individualitasnya, menyadari perbedaannya
dari jenis kelamin lain, merasakan keterpisahan-keterasingan dari dunia
kanak-kanak yang baru saja dilaluinya, namun juga masih asing dengan dunia
dewasa.
Remaja yang memiliki
keluarga yang hangat (penuh cinta) akan dapat melewati masa-masa sulit ini dengan
relatif mudah. Sebaliknya mereka yang tidak merasakan kehangatan cinta dalam
keluarga, akan memasuki kehidupan yang sulit, ketika mereka masih belum
sepenuhnya mengerti kehidupan.
Identitas Diri
Remaja berusaha menemukan
jawaban atas kekaburan identitas itu, melalui kelompok sosial di luar keluarga,
khususnya kelompok teman sebaya (peer group). Para ahli psikologi sosial tahu
persis bahwa kelompok merupakan bagian integral dari identitas sosial individu.
Dengan demikian kita tak
perlu heran bila remaja cenderung konform (to conform, mengikuti sikap
atau perilaku kelompoknya), karena di sana mereka merasa menemukan ’identitas’
dan berharap tak mengalami penolakan dengan konformitasnya itu. Dalam hal ini
orangtua perlu menyadari bahwa keluarga juga merupakan bagian integral
identitas sosial setiap anggotanya.
Bila keluarga penuh
kehangatan (penuh penerimaan) dan disertai ajaran moral, mereka akan melalui
pergulatan masa remajanya dengan mengembangkan nilai-nilai yang diperoleh
melalui keluarga, dan selanjutnya membentuk kesadaran akan identitas diri.
Sebaliknya remaja dari
keluarga yang berantakan atau penuh kekerasan, hari-harinya cenderung dipenuhi
rasa penolakan (marah, memberontak, depresi) dan/atau pencarian penerimaan dari
luar keluarga dengan cara tak sehat (membabi buta, jalan pintas melalui seks,
alkoholisme dan obat-obatan) dilandasi oleh konsep diri yang negatif. Dalam
situasi demikian, identitas diri yang sejati akan sulit ditemukan.
Identitas lebih dari
sekadar konsep diri. Ini merupakan kata kunci dari kebermaknaan eksistensi
manusia. Merupakan pengenalan (penemuan) atas aspek-aspek di dalam diri yang
menjangkau aspek spiritual (kehidupan batin yang berelasi dengan alam, manusia
lain, dan Tuhan), yang memberikan ketenangan, rasa keutuhan-kepenuhan yang
relatif menetap.
Secara alami setiap remaja
menerima tugas untuk menemukan identitas diri masing-masing, agar selanjutnya
dapat memasuki masa dewasa secara sehat dan matang. Untuk itu mereka harus
bergerak menuju orang lain. Di samping masuk dalam interaksi sosial yang lebih
luas di luar keluarga, secara biologis mereka telah dibekali dengan kematangan
organ-organ seksual untuk bergerak menuju individu lain yang berlawanan jenis.
Hal ini harus dilihat
sebagai tanda alamiah bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis disertai dorongan
seksual merupakan hal yang kodrati. Sebagai suatu motif, wajar pula bila
dorongan semacam ini disertai muatan emosi yang seringkali menimbulkan
kecemasan orangtua.
Yang perlu dicatat, rasa
kesepian/keterasingan/keterpisahan makin dalam bila remaja tak dapat involve
(memiliki keterlibatan emosional) dalam keluarga atau kelompok sosial yang ada.
Akibatnya kebutuhan akan kehangatan cinta dapat berkembang secara
primitif-instinktif-biologis, berupa dorongan seksual yang membabi-buta.
Catatan penting lain,
perihal ketertarikan dan dorongan seksual menuju lawan jenis, pada remaja hal
tersebut masih berupa suatu bentuk kesiapan (untuk kelak bersatu jiwa-raga
dengan perasaannya), sementara mereka masih harus banyak belajar mencintai lawan
jenis (cinta romantik) di tengah pembelajaran mereka yang terus-menerus akan
bentuk-bentuk cinta yang lain.
Dorongan seks bukan
sesuatu yang harus disalurkan melalui hubungan seksual. Tidak boleh dilupakan
bahwa ketertarikan dan dorongan seks menuju lawan jenis merupakan fungsi luhur
manusia untuk memenuhi panggilan hidup berkeluarga.
Orangtua harus dapat
menjelaskan, bahwa relasi seksual merupakan hal agung, yang akan memberikan
rasa kepenuhan (penyatuan kembali dari rasa keterpisahan) hanya bila dilakukan
dengan cinta sejati. Sebaliknya, relasi seksual yang dilakukan sebagai pelarian
tanpa cinta, bakal membuahkan jurang keterpisahan yang makin dalam.
Cinta berarti keputusan
untuk memberikan diri dan menerima pihak lain sepenuhnya sepanjang hidup. Dengan
persatuan ini dua orang yang saling mencintai akan saling memperkembangkan dan
memperkuat identitas masing-masing dan mengalami rasa kepenuhan. Sebagai
makhluk yang hidup dalam pranata sosial, cinta sejati hanya akan menemukan
tempat yang nyaman dalam lembaga perkawinan.
Menuju Prinsip-Moral
Eksistensi manusia juga
memiliki penyangga (buffer) lain. Menurut Fromm terdapat tiga cara yang sering
digunakan manusia; membangun keseragaman (konformitas), kerja rutin dan hiburan
rutin, serta kegiatan kreatif.
Bagi remaja hal itu
berarti, perlu kesempatan luas untuk berinteraksi dengan teman sebaya atau
berbagai kelompok yang memungkinkan melakukan konformitas secara positif,
pelaksanaan tugas (belajar dan tugas lain) dan hiburan (mengembangkan hobi,
aktifitas rekreatif) secara rutin, serta melakukan kegiatan kreatif (mencipta
dalam bidang sastra, musik, seni rupa, ilmu pengetahuan, dsb.).
Sebagai orangtua tentu
kita menginginkan agar anak remaja kita dapat melewati kehidupan ini dengan
landasan moral yang kuat, antara lain dapat melewatkan masa pacaran secara
sehat, tak melanggar norma susila. Nasihat yang paling sering didengungkan
adalah ’perkuat agama’!. Sebenarnya itu tak cukup, bila agama hanya diartikan
sebagai sejumlah kewajiban dan larangan.
’Perkuat agama’ hanya akan
memiliki pengaruh signifikan bila diartikan sebagai memperkuat nilai-nilai
moral ke tingkat yang internal, yaitu tingkat moral tertinggi. Artinya ketika
seseorang yang menghadapi dilema-dilema moral, secara reflektif mengembangkan
prinsip-prinsip moral pribadi yang otonom (bertindak atas dasar moral yang
diyakininya , bukan karena tekanan sosial). Ini dapat terbentuk karena
penerimaan nilai moral yang diperoleh melalui lingkungan sosial (keluarga,
sekolah, kelompok agama, dll.) yang diolah melalui penalaran dan dicamkan dalam
batin.
Berdasarkan proses di atas
tampak bahwa penalaran berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Hal
ini dapat kita bandingkan dengan dua tingkatan moral yang lebih rendah. Pada
stase yang paling rendah, pra-konvensional, orang memberikan penilaian baik
atau buruk atas dasar konsekuensi hukuman atau hadiah yang menyertai suatu
perbuatan, dan melakukan perbuatan baik demi mendapat hadiah atau menghindari
hukuman. Dalam hal ini penalaran yang digunakan adalah tingkat rendah, setara
dengan penalaran anak 4-6 tahun.
Sedangkan perkembangan
moral yang konvensional, orang menilai baik atau buruk atas dasar persetujuan
yang diberikan orang lain. Menilai baik apa yang disetujui orang lain, dan
menilai buruk apa yang ditolak orang lain.
Pada tahap ini
aturan-aturan yang ada dianggap berharga, tapi belum dapat
dipertanggungjawabkannya secara pribadi, sekadar ingin mempertahankan aturan
yang ada (melestarikan sistem sosial). Tingkat penalaran yang digunakan di sini
setara dengan penalaran anak 7-11 tahun.
Pentingnya penalaran dalam
mengembangkan moral yang tinggi bermakna bahwa penanaman moral sejak anak-anak
harus disertai reason, penjelasan yang masuk akal mengapa suatu perbuatan boleh
atau tidak boleh dilakukan, yang sesuai dengan kemampuan penalaran anak pada
masa itu.
Saat memasuki masa remaja,
dengan kemampuan penalaran yang sudah berkembang maksimal (mampu berpikir
hipotetik dan menganalisa), anak remaja dapat diajak melakukan
pertimbangan-pertimbangan moral dengan penalaran yang tinggi sesuai potensi
yang dimilikinya. Bila orangtua memperlakukan remajanya dengan larangan tanpa
penalaran, itu adalah pembodohan dan penanaman tingkat moral yang rendah.
Akibatnya yang dicapai adalah tingkat moral rendah (eksternal), yang tak tahan
uji dalam menghadapi dilema moral.
Artinya:
1. Baik dan buruknya anak
itu semuanya tergantung dari didikan/nasihat orang tua. Apabila didikan dari
orang tua kurang mendidik si anak,maka ia akan terjerumus melakukan hal-hal
yang diluar kehendak orang tua dan kehendak si anak itu sendiri.
2. Apabila orang tua yang
selalu mendidik/nasihat anaknya dengan baik, maka didikan yang sudah di cap
tidak akan pernah terlepas alias sekali cap untuk selamanya.
3. Hati-hati jangan sampai
ada kekerasan terhadap anak dan dalam keluarga.Karena dimana ada kekerasan
disitu tidak ada kenyamanan anak maupun keluarga. Jadi semuanya itu
kembali pada didikan orang tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar